Inisiatif
pemerintah Indonesia untuk bergabung dalam pasar bebas pada hakikatnya bukan
sesuatu yang salah. Tidak salah hanya pada hakikatnya, tapi ketika sudah
dihadapkan pada konteks hal tersebut akan berbeda. Karena sesuatu yang
normative dan empiris pada dasarnya merupakan sesuatu yang berbeda bahkan
bertolak belakang, meskipun keduanya saling berhubungan dan memiliki
ketergantungan satu dan lainya.
Indonesia
yang merupakan negara berkembang dengan penduduk 2,5 juta jiwa harus menjadi
pertimbangan pemerintah dalam setiap kebijakan yang diambilnya, terutama dalam
urusan ekonomi, karena hal ini erat kaitanya dengan hak untuk hidup sejahtera.
Sebagian besar rakyat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan, dan imbasnya sebagian
besar dari mereka hanya merasakan imbas dari setiap kebijakan, dan
keikutsertaan untuk mendapat keuntungan dari setiap kebijakan ekonomi terutama
perdagangan bebas hampir tidak pernah dirasakan mereka. Tidak layak rasanya
untuk menyalahkan pihak rakyat kecil, karena pada dasarnya pilihan hidup yang
terbataslah yang membuat sedikitnya kepartisipasian dalam setiap liberalism
perdagangan.
Ada
unsur politik pastinya ketika Indonesia terus membuka diplomasi dalam berbagai
bidang, utamanya dalam lingkup perekonomian, selama ini memang Indonesia lebih
banyak melakukan kerjasama dengan Tiongkok, dengan bergabungnya Indonesia dalam
TPP menunjukkan bahwa sejauh ini apa yang dilakukan Indonesia dalam segala
kebijakanya adalah kebijakan yang netral tanpa keberpihakan terhadap siapapun,
inisiatif diplomasi luar negri erat kaitanya dengan politik luar negri, politik
Indonesia yang bebas aktif bukan berarti Indonesia tidak memiliki kewenangan
untuk perlindungan terhadap negara bangsa Indonesia sendiri.
Selama
ini free trade yang dilakukan Indonesia menunjukkan kesan dominasi sinyal
negative, dimana saat ini perekonomian yang bisa terbantu dari free trade masih
jauh dari harapan, memang bukan berarti adanya free trade itu salah karena
bukti negara yang bisa survive dan merasakan efek positif dari free trade pun
ada seperti India dan korea selatan. Asalakan suatu negara memiliki kemampuan,
keoptimisan dan regulasi hukum yang bagus, Indonesia akan mampu untuk itu.
Namun,
bicara kenyataan yang ada, Indonesia sangat lemah untuk hal tersebut, daya
saing produk dalam negri kita masih jauh dari kata cukup. Belum lagi ditambah
issue-issue politik yang terus mencuat kepermukaan menjadi salah satu sebab
mengapa perekonomian kita terus stagnan. Hal ini menjadi salah satu alasan penting
setiap keputusan Indonesia untuk membuka free trade kembali, telah banyak
Indonesia telah bergabung tanpa hasil masksimal karena alasan-alasan disebut.
Alasan
selanjutnya, dimana pioneer free trade tersebut adalah Amerika Serikat negara
adidaya yang berkuasa dalam setiap keputusan harusnya menjadi pertimbangan
lebih lanjut bagi Indonesia dalam keinginanya untuk bergabung dalam TPP. Alasan
bahwa Indonesia harus optimis dalam setiap liberalism perdagangan bukanlah
urusan mudah, karena alasan optimisme bukanlah alasan yang bisa terukur, dan
tidak sebanding dengan efek yang akan disebabkan ketika Indonesia membuka free
trade kembali dengan bergabung dengen TPP tanpa disertai keadaan kesiapan
Indonesia untuk itu. Untuk itu, Pemerintah harus jeli melihat keadaan dan
memikir ulang kembali untuk bergabung dengan TPP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar