Kontroversi Hukuman Mati II
Todung mulya Lubis,
kontroversi hukuman mati : perbedaan
pendapat hakim konstitusi : kompas: jakarta : 2009
Belum diterimanya penghapusan hukuman mati diindonesia harus
difahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat indonesia belum dapat menerima
penghapusan pidana mati, pidana mati masih difahami sebagai sesuatu yang sah
secara hukum maupun moral, kalaupun hukuman mati melanggar hak hidup,
pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidan
tertentu (perkataan Prof. Dr. Jimly asshiddiqie)
Salah satu sebab hukuman mati dihapuskan diberbagai negara
didunia adalah kenyataan bahwa hukuman mati dianggap merupakan suatu bentuk
hukuman atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat
manusia, kejamnya hukuman mati dilukiskan oleh mahkama konstitusi afrika
selatan ketika menghapus hukuman mati dari sistem hukum afrika selatan, hakim
chaskalson mendeskripsikan hukuman mati sebagai berikut:
Death is the most extreme form of punishment to which a convicted
criminal can be subjected. Its execution is a final and irrevocable. It puts an
end not only to the right which had vested in the deceased under chapter three
of the constitution. Artinya kmatian adalah bentuk hukuman yang paling exstrem
yang dapat dijatuhkan terhadap seorang terpidana. Begitu dieksekusi hukuman ini
langsung bersifat final dan tidak dapat diubah lagi. Hukuman tersebut
mengakhiri tidak hanya hak untuk hidup itu sendiri, tetapi juga semua hak
pribadi lainya ynag telah melekat pada almarhum berdasartkan bab tiga
konstitusi.
Pasal 28D ayat 1 Uud 19945 secara tegas menolak diskiminasi
terhadap siapapun juga : setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan ynag sama dihadapan
hukum.22
Hubungan antara hak untuk hidup dan hukuman mati secara
eksplisit dapat dijumpai pada pasal 6 international covenant on civil and
political rights (ICCPR), sebuah instrument hukum internasional yang telah
disahkan melalui UU nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan international on
civil and political rights ( kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan
politik)(UU pengesahan ICCPR), pasal ini disamping mengatur tentang hak untuk
hidup (ayat 1), juga mengatur tentang pembatasan penerapan hukuman mati (ayat
2) s/d 56 hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
1.
Setiap manusia, berhak atas
hak untuk hidup yang melekat pada dirinya, hak ini wajib dilindungi oleh hukum,
tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
2.
Di negara-negara yang belum
menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap
beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada
saat dilakukanya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan
konvenan dan konvensi tentang pencegahan dan hukum kejahatan genosida, hukuman
ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh
suatu pengadilan yang berwenang.
3.
Apabila suatu perampasan
kehidupan merupakan kejahatan genosida, harus difahami, bahwa tidak satupun
dalam pasal ini yang memberikan kewenanagan pada negara yang menjadi pihak
dalam kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh
ketentuan dalam konvensi tentang pencegahan dan hukuman bagi kejahatan
genosida.
4.
Setiap orang yang telah
dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon pengampuan atau penggantian hukuman,
amnesti, pengampuan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua
kasus.
5.
Hukuman mati tidak boleh
dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh sesseorang dibawah usia delapan
belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah
mengandung
6.
Tidak ada satupundalam
pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman
mati oleh negara yang menjadi pihak dalam kovenan ini.
Pasal 4 ayat 1 ICCPR mengatakan
bahwa: dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaaanya,
yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak kovenan ini dapat
mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka
berdasarkan kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat
tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban kainya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung
diskriminasi semata-mata berdasarkan atas, ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama atau asal-usul sosial.
Dalam pasal 281 ayat 1UUD 1945
dan sesuai dengan pasal 4 ICCPR menunjukkkan untuk hak-hak asasi yang tidak
dapat dikurangi pemenuhanya atau perlindunganya oleh negara, dalam keadaan
darurat sekalipun.
Kalaupun ada yang berpendapat
bahwa pasal 281 ayat 1 tidak mutlak sifatnya, mungkin hal ini terkait dengan
penerapan asas non-retroactive. Ketidaksepahaman diantara hakim konstitusi
mengenal penerapan asas non-retroactive terlihat pada putusan 013/PUU-1/2003
dan putusan 065/PUUII/2004. Kontroversi ini dapat dimaklumi karena disatu sisi
asas non-retroactive merupakan suatu asas yang sangat fundamental didalam hukum
pidana, namun disisi lain penyimpangan terhadap asas ini secara terbatas pernah
dilakukan oleh dunia internasional, khususnya dalam mengadili para pelaku
kejahatan yang sangat berat.
Sudah menjadi pengetahuan
dikalangan para ahli hukum bahwa criminal justice system is not infalible,
sistem peradilan pidana tidaklah sempurna, peradilan pidana terkadang keliru
dalam menghukum orang-orang yang tidak bersalah, berkaitan dengan hukuman mati
maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal karena penerapan hukuman mati
bersifat irreversible. Orang yang
dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan lagi walaupun dikemudian hari diketahui
bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
Pasal 3 DUHAM ( instrumen
internasional yang sangat penting dan oleh sebagian kalangan dikatakan sebagai
cornerstone of contemporary human right) mengatakan bahwa setiap orang berhak
hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan diri. Pasal ini
dapat ditafsirkan secara implisit menghendaki pengahpusan hukuman mati.
Meyakini bahwa penghapusan
hukuman mati dapat memberikan sumbangsih bagi meningkatnya harkat dan martabat
manusia serta bagi perkembangan progresif hak-hak asasi manusia, mengingat
pasal 3 deklarasi universital hak-hak asasi manusia yang disahkan pada tanggal
10 desember 1948, dan pasal 6 kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan
politik yang disahkan pada tanggal 16 desember 1966 yang ditujuhkan pada
penghapusan hukuman mati dalam pengertian yang sangat jelas menghendaki
terwujudnya penghapusan hukuman mati.
Second optinal protocol
menerapkan standar yang lebih tinggi dari pada pasal 6 ICCPR, second optional
protocal bertujuan untuk menghapus hukuman mati secara total, tanpa
pengecualian berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukan.
Pasal 77 ayat 1 statute of the
interbational criminal court of 1998 membatasi bahwa hukuman maksimum adalah
hukuman seumur hidup.
Bangsa indonesia yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia, termasuk didalamnya adalah hak-hak para terpidana,.
Berkaitan dengan hak-hak terpidana, timbul pemikiran-pemikiran baru mengenai
fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar menekankan pada aspek pembalasan,
tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi
pelaku tindak pidana.63
Sistem pemidanaan yang sangat
menekankan pada balas dendam secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu
sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi
sosial. Konsep ini bertujuan agar narapidana menyadari kesalahanya, tidak lagi
berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi wraga masyarakat
yang bertanggungjawab bagi diri, keluarga dan lingkungan.
Yang harus diberantas
adalahfaktor-faktor yang dapat menyebabkan barapidana melakukan tindak pidana,
bukan narapidana yng bersangkutan.
Olehkarena itu, sangat jelas
terlihat bahwa penerapan hukuman mati tidak sesuidengan filosofi pemidanaan di
indonesia, hukuman mati lebih menekankan
pada spek balas dendam, tidak terbuka bagi yang bersangkutan untuk bertobat dan
kembali ke masyarakat.68
Prof. William A. schabas, OC
MIRIA : gru besar universitas nasional irlandia dan direktur pusat hak
asasi manusia irlandia)hukum hak asasi manusia internasional dan hukum
humaniter internasional telah membahas isu hukuman mati secara cukup langsung
selama hampir delapan puluh tahun, meski hukum internasional barangkali tidak
serta merta dapat diberlakukan secara langsung mengingat adanya hukum dan
peraturabn perUUan yang berlaku di indonesia, hukum internasional merupakan
sebuah sumber pedoman yang sangat otoritatif dalam hal penafsiran norma-norma
konstitusional.
UUD indonesia, deklarasi
universal hak-hak asasi manusia (universal declaration of human right )
menjamin hak untuk hidup dan perlindungan terhadap penyiksaaan. Para pembuatnya
secara sadar dan sengaja menghapus sebuah bagian mengenai hukuman mati, bagian
inti tadinya dimaksudkan untuk mengakui hukuman mati sebagai pengecualian
terhadap hak untuk hidup, sejumlah traktat yang menyusul kemudian menyatakan
hukuman mati sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup, juga terdapat
ketentuan bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam kovenan tersebut yang boleh
menghambat dihapuskanya hukuman mati.
Fillipina adalah salah satu
contoh negara yang pernah berhenti menggunakan hukuman mati kemudian
menghidupkanya lagi dan kemudian menghapus hukuman mati.
Tatkala deklarasi universal hak-hak
asasi manusia di kumandangkan 1948 bukanlah saat yang tepat untuk mendalilkan
bahwa deklarasi tersebut menghadirkan sebuah norma hukum internasionazl yang
seketika itu juga melarang hukuman mati dengan alasan hukuman mati melanggar
hak untuk hidup. Oleh karena itu, pada masa itu bila hukuman mati dilarang baik
secar eksplisit maupun implisit maka akan ada banyak negara yang tidak
meratifikasi kovenan tersebut.
Khusus untuk hak hidup dilakukan
sebuah pendekatan yang cukup berbeda, dimana hukuman mati secara tegas
dirumuskan sebagai pengecualian, dengan catatan tunduk pada sejumlah batasan
dan bukan sebagai konsekuensi logis dari penafsiran atas prinsip-prinsip yang
termaktub dakam pasal 29 ayat 2 deklarasi universal hak0hak asasi manusia.
Bahkan, jika hukuman mati dilarang baik secara eksplisit maupun implisit maka
akan ada banyak negara yang tidak mau menyetujuinya.
Derogation adalah sebuah term of
art yang digunakan dalam traktat-traktat hak-hak asasi manusia internasional
untuk mengungkapkan ditangguhknya pemenuhan norma tertentu dengan alasan
keadaan darurat.
Efek jera terhadap
kejahatan-kejahatan berat dihasilkan oleh besarnya kemungkunan tertangkap dan
efektivitas penegakan hukum. Jadi, para pelaku pidana benar-benar khawatir akan
besarnya kemungkinan mereka tertangkap, tidaklah penting bagi mereka akan
dieksekusi mati atau akan menghabiskan sebagian besar atau seluruh sisa
hidupnya dipenjara.
Menurut prof. Roger hood
professor kriminologi universitas oxford adalah gegabah bila kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas pembunuhan
menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar dari pada yang dihasilkan oleh
hukuman yang lebih ringan. Argumen ini disangga oleh pendukung hukuman mati
bahwasanya hukuman mati merupakan penghasil efek jera yang ampuh.
Hukuman penjara bukan merupakan
penghasil efek jera yang cukup, dan kita belum mencapai tahap kemajuan
pembangunan yang memungkunkan kita melangkah tanpa hukuman mati.
Banyak sekali faktor timbulnya
kejahatan pengangguran, kemiskinan, bahkan polisi dan aparat penyidik dan
penuntut tidak mau lagi menangani semua ini.
Efek jera ang paling besar untuk
mencegah tindak pidana adalah besarnya kemungkina pelakunya tertangkap, divonis
bersalah dan dihukum. Justru inilah yang menjadi kelemahan dalam sistem hukum
pidana kita saat ini dan justru dengan perbaikan pada tataran inilah serta
dengan mengatasi masalah-masalah yang menjadi penyebab tondak pidanalah negara
baru dapat memberantas keadaan tanpa hukuman mati.
Dalam argumenya jaksa agung
berpendapat bahwa apabila hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap para
pelaku tindak pidana yang terbukti bersalah terlalu ringan, hukum akan menjadi
tidak berwibawa, dan para anggota masyarakat lalu akan mengambil alih hukum ke
tangan mereka sendiri.
Di sebuah negara mahkama konstitusi
menjadikan hukum interbasional sebagai pedoman bila harus mwnweapkan suatu
ketentuan.
Demokrasi berkecenderungan
menghapus hukuman mati.
Pelaksanaan hukuman mati
menghancurkan kehidupan , yang dilindungi tanpa pengecualian oleh pasal 9
konstitusi kita.
Judicial committee of the privacy
council, menetapkan bahwa penundaan selama lebih dari lima tahun antara
dijatuhkanya hukuman mati dengan pelaksanaan eksekusi merpakan pelanggaran atas
pelarangan terhadap perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atu
merendahkan martabat manusia.
Prof. Jefferry fagan (guru besar
bidang hukum dan kesehatan masyarakat di universitas columbia amerika serikat)
:
Menggunakan hukuman mati secara
agresif untuk mencapai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar