Selasa, 13 Maret 2012

Kontroversi Hukuman Mati II


Kontroversi Hukuman Mati II
Todung  mulya Lubis, kontroversi  hukuman mati : perbedaan pendapat hakim konstitusi : kompas: jakarta : 2009
Belum diterimanya penghapusan hukuman mati diindonesia harus difahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat indonesia belum dapat menerima penghapusan pidana mati, pidana mati masih difahami sebagai sesuatu yang sah secara hukum maupun moral, kalaupun hukuman mati melanggar hak hidup, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidan tertentu (perkataan Prof. Dr. Jimly asshiddiqie)
Salah satu sebab hukuman mati dihapuskan diberbagai negara didunia adalah kenyataan bahwa hukuman mati dianggap merupakan suatu bentuk hukuman atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, kejamnya hukuman mati dilukiskan oleh mahkama konstitusi afrika selatan ketika menghapus hukuman mati dari sistem hukum afrika selatan, hakim chaskalson mendeskripsikan hukuman mati sebagai berikut:
Death is the most extreme form of punishment to which a convicted criminal can be subjected. Its execution is a final and irrevocable. It puts an end not only to the right which had vested in the deceased under chapter three of the constitution. Artinya kmatian adalah bentuk hukuman yang paling exstrem yang dapat dijatuhkan terhadap seorang terpidana. Begitu dieksekusi hukuman ini langsung bersifat final dan tidak dapat diubah lagi. Hukuman tersebut mengakhiri tidak hanya hak untuk hidup itu sendiri, tetapi juga semua hak pribadi lainya ynag telah melekat pada almarhum berdasartkan bab tiga konstitusi.
Pasal 28D ayat 1 Uud 19945 secara tegas menolak diskiminasi terhadap siapapun juga : setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan ynag sama dihadapan hukum.22
Hubungan antara hak untuk hidup dan hukuman mati secara eksplisit dapat dijumpai pada pasal 6 international covenant on civil and political rights (ICCPR), sebuah instrument hukum internasional yang telah disahkan melalui UU nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan international on civil and political rights ( kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik)(UU pengesahan ICCPR), pasal ini disamping mengatur tentang hak untuk hidup (ayat 1), juga mengatur tentang pembatasan penerapan hukuman mati (ayat 2) s/d 56 hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
1.       Setiap manusia, berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya, hak ini wajib dilindungi oleh hukum, tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
2.       Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukanya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan konvenan dan konvensi tentang pencegahan dan hukum kejahatan genosida, hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
3.       Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan genosida, harus difahami, bahwa tidak satupun dalam pasal ini yang memberikan kewenanagan pada negara yang menjadi pihak dalam kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam konvensi tentang pencegahan dan hukuman bagi kejahatan genosida.
4.       Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon pengampuan atau penggantian hukuman, amnesti, pengampuan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5.       Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh sesseorang dibawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung
6.       Tidak ada satupundalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi pihak dalam kovenan ini.
Pasal 4 ayat 1 ICCPR mengatakan bahwa: dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaaanya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban kainya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
Dalam pasal 281 ayat 1UUD 1945 dan sesuai dengan pasal 4 ICCPR menunjukkkan untuk hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi pemenuhanya atau perlindunganya oleh negara, dalam keadaan darurat sekalipun.
Kalaupun ada yang berpendapat bahwa pasal 281 ayat 1 tidak mutlak sifatnya, mungkin hal ini terkait dengan penerapan asas non-retroactive. Ketidaksepahaman diantara hakim konstitusi mengenal penerapan asas non-retroactive terlihat pada putusan 013/PUU-1/2003 dan putusan 065/PUUII/2004. Kontroversi ini dapat dimaklumi karena disatu sisi asas non-retroactive merupakan suatu asas yang sangat fundamental didalam hukum pidana, namun disisi lain penyimpangan terhadap asas ini secara terbatas pernah dilakukan oleh dunia internasional, khususnya dalam mengadili para pelaku kejahatan yang sangat berat.
Sudah menjadi pengetahuan dikalangan para ahli hukum bahwa criminal justice system is not infalible, sistem peradilan pidana tidaklah sempurna, peradilan pidana terkadang keliru dalam menghukum orang-orang yang tidak bersalah, berkaitan dengan hukuman mati maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal karena penerapan hukuman mati bersifat irreversible.  Orang yang dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan lagi walaupun dikemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
Pasal 3 DUHAM ( instrumen internasional yang sangat penting dan oleh sebagian kalangan dikatakan sebagai cornerstone of contemporary human right) mengatakan bahwa setiap orang berhak hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan diri. Pasal ini dapat ditafsirkan secara implisit menghendaki pengahpusan hukuman mati.
Meyakini bahwa penghapusan hukuman mati dapat memberikan sumbangsih bagi meningkatnya harkat dan martabat manusia serta bagi perkembangan progresif hak-hak asasi manusia, mengingat pasal 3 deklarasi universital hak-hak asasi manusia yang disahkan pada tanggal 10 desember 1948, dan pasal 6 kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang disahkan pada tanggal 16 desember 1966 yang ditujuhkan pada penghapusan hukuman mati dalam pengertian yang sangat jelas menghendaki terwujudnya penghapusan hukuman mati.
Second optinal protocol menerapkan standar yang lebih tinggi dari pada pasal 6 ICCPR, second optional protocal bertujuan untuk menghapus hukuman mati secara total, tanpa pengecualian berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukan.
Pasal 77 ayat 1 statute of the interbational criminal court of 1998 membatasi bahwa hukuman maksimum adalah hukuman seumur hidup.
Bangsa indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk didalamnya adalah hak-hak para terpidana,. Berkaitan dengan hak-hak terpidana, timbul pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar menekankan pada aspek pembalasan, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana.63
Sistem pemidanaan yang sangat menekankan pada balas dendam secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsep ini bertujuan agar narapidana menyadari kesalahanya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi wraga masyarakat yang bertanggungjawab bagi diri, keluarga dan lingkungan.
Yang harus diberantas adalahfaktor-faktor yang dapat menyebabkan barapidana melakukan tindak pidana, bukan narapidana yng bersangkutan.
Olehkarena itu, sangat jelas terlihat bahwa penerapan hukuman mati tidak sesuidengan filosofi pemidanaan di indonesia,  hukuman mati lebih menekankan pada spek balas dendam, tidak terbuka bagi yang bersangkutan untuk bertobat dan kembali ke masyarakat.68
Prof. William A. schabas, OC MIRIA : gru besar universitas nasional irlandia dan direktur pusat hak asasi manusia irlandia)hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional telah membahas isu hukuman mati secara cukup langsung selama hampir delapan puluh tahun, meski hukum internasional barangkali tidak serta merta dapat diberlakukan secara langsung mengingat adanya hukum dan peraturabn perUUan yang berlaku di indonesia, hukum internasional merupakan sebuah sumber pedoman yang sangat otoritatif dalam hal penafsiran norma-norma konstitusional.
UUD indonesia, deklarasi universal hak-hak asasi manusia (universal declaration of human right ) menjamin hak untuk hidup dan perlindungan terhadap penyiksaaan. Para pembuatnya secara sadar dan sengaja menghapus sebuah bagian mengenai hukuman mati, bagian inti tadinya dimaksudkan untuk mengakui hukuman mati sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup, sejumlah traktat yang menyusul kemudian menyatakan hukuman mati sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup, juga terdapat ketentuan bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam kovenan tersebut yang boleh menghambat dihapuskanya hukuman mati.
Fillipina adalah salah satu contoh negara yang pernah berhenti menggunakan hukuman mati kemudian menghidupkanya lagi dan kemudian menghapus hukuman mati.
Tatkala deklarasi universal hak-hak asasi manusia di kumandangkan 1948 bukanlah saat yang tepat untuk mendalilkan bahwa deklarasi tersebut menghadirkan sebuah norma hukum internasionazl yang seketika itu juga melarang hukuman mati dengan alasan hukuman mati melanggar hak untuk hidup. Oleh karena itu, pada masa itu bila hukuman mati dilarang baik secar eksplisit maupun implisit maka akan ada banyak negara yang tidak meratifikasi kovenan tersebut.
Khusus untuk hak hidup dilakukan sebuah pendekatan yang cukup berbeda, dimana hukuman mati secara tegas dirumuskan sebagai pengecualian, dengan catatan tunduk pada sejumlah batasan dan bukan sebagai konsekuensi logis dari penafsiran atas prinsip-prinsip yang termaktub dakam pasal 29 ayat 2 deklarasi universal hak0hak asasi manusia. Bahkan, jika hukuman mati dilarang baik secara eksplisit maupun implisit maka akan ada banyak negara yang tidak mau menyetujuinya.
Derogation adalah sebuah term of art yang digunakan dalam traktat-traktat hak-hak asasi manusia internasional untuk mengungkapkan ditangguhknya pemenuhan norma tertentu dengan alasan keadaan darurat.
Efek jera terhadap kejahatan-kejahatan berat dihasilkan oleh besarnya kemungkunan tertangkap dan efektivitas penegakan hukum. Jadi, para pelaku pidana benar-benar khawatir akan besarnya kemungkinan mereka tertangkap, tidaklah penting bagi mereka akan dieksekusi mati atau akan menghabiskan sebagian besar atau seluruh sisa hidupnya dipenjara.
Menurut prof. Roger hood professor kriminologi universitas oxford adalah gegabah bila kita menerima  hipotesis bahwa hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar dari pada yang dihasilkan oleh hukuman yang lebih ringan. Argumen ini disangga oleh pendukung hukuman mati bahwasanya hukuman mati merupakan penghasil efek jera yang ampuh.
Hukuman penjara bukan merupakan penghasil efek jera yang cukup, dan kita belum mencapai tahap kemajuan pembangunan yang memungkunkan kita melangkah tanpa hukuman mati.
Banyak sekali faktor timbulnya kejahatan pengangguran, kemiskinan, bahkan polisi dan aparat penyidik dan penuntut tidak mau lagi menangani semua ini.
Efek jera ang paling besar untuk mencegah tindak pidana adalah besarnya kemungkina pelakunya tertangkap, divonis bersalah dan dihukum. Justru inilah yang menjadi kelemahan dalam sistem hukum pidana kita saat ini dan justru dengan perbaikan pada tataran inilah serta dengan mengatasi masalah-masalah yang menjadi penyebab tondak pidanalah negara baru dapat memberantas keadaan tanpa hukuman mati.
Dalam argumenya jaksa agung berpendapat bahwa apabila hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap para pelaku tindak pidana yang terbukti bersalah terlalu ringan, hukum akan menjadi tidak berwibawa, dan para anggota masyarakat lalu akan mengambil alih hukum ke tangan mereka sendiri.
Di sebuah negara mahkama konstitusi menjadikan hukum interbasional sebagai pedoman bila harus mwnweapkan suatu ketentuan.
Demokrasi berkecenderungan menghapus hukuman mati.
Pelaksanaan hukuman mati menghancurkan kehidupan , yang dilindungi tanpa pengecualian oleh pasal 9 konstitusi kita.
Judicial committee of the privacy council, menetapkan bahwa penundaan selama lebih dari lima tahun antara dijatuhkanya hukuman mati dengan pelaksanaan eksekusi merpakan pelanggaran atas pelarangan terhadap perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atu merendahkan martabat manusia.
Prof. Jefferry fagan (guru besar bidang hukum dan kesehatan masyarakat di universitas columbia amerika serikat) :
Menggunakan hukuman mati secara agresif untuk mencapai







Tidak ada komentar:

Posting Komentar