Jangan bunuh KPK, kompas, jakarta 2009
Sebenernya keberadaan pengadilan khusus tipikor dan kpk
adalah bukti keseriusan pemerintah, DPR masayrakat untuk melakukan
pemberantasan korupsi.
Buku ini membahas lima bagian antara lain :
1.
Membuktikan bahwa tindak korupsi
hingga kini masih ada di hampir semua daerah dan hampir semua institusi.
2.
Adanya perlawanan terhadap
KPK berupaya melemahkan KPK dalam
memberantas korupsi
3.
Tulisan-tulisan yang
mendorong keberadaan KPK
4.
Kasus-kasus korupsi yang
ditangani KPK
5.
Etika dan wewenang KPK
Guru besar UNS, Adi sulistiyono, Minggu (20,07,2008) menilai
korupsi kian merajalela, merambah ke berbagai sektor, dari tingkat pusat hingga
daerah, itu terjadi karena selama ini proses hukum pada pelaku korupsi sama
sekali tidak menjerahkan, ‘koruptor yang menimbulkan kerugian negara miliaran
sampai triliyunan rupiah paling hanya divonis tiga sampai empat tahun, jadi
bagaimana ada efek jera.” Ujarnya di jakarta.
Menghadapi korupsi yang kian parah, menurut adi seharusnya
pelaku dihukum mati agar ada efek jera, “ jika tidak dihukum mati, terpidana
korupsi harus dimasukkan ke penjara khusus terisolasi sehingga tidak bisa
melakukan kontak dengan siapapun, mungkin dengan seperti ini mereka bisa jera
dan tak berani korupsi lagi”.
Pakar politik dan
pemerintahan UGM, purwo santoso mengakui praktik korupsi yang dilakukan kepala
daerah dan pejabat didaerah disebabkan terbuka lebarnya peluang korupsi, antara
lain karena kekacauan keuangan pemerintah.
Selain itu purwo menyatakan tingginya biaya politik yang
dikeluarkan kepala daerah selama pencalonan juga memicu tindakan korupsi, jadi,
korupsi tidak hanya dipicu oleh kesalahan oknum.
Ketua umum pengurus
besar NU K.H. hasyim muzadi mengakui “banyaknya pejabat publik melakukan
korupsi karena besarnya biaya politik dan sosial yang harus mereka keluarkan,
dan budaya hedonistik yang mereka anut.”
Selain itu ongkos politik untuk menjadi bupati/ walikota dalam pilkada
langsung mencapai puluhan miliar rupiah, sehingga selama menjabat kepala daerah
itu bergaya hidup hedonis, glamour, serta memiliki gengsi yang harus lebih
tinggi daripada masyarakat, kondisi ini berkebalikan dengan sifat penjabat
negara lain yang mampu hidup sederhana.
Menurut hasyim, pejabat publik sebenernya juga merasa ngeri
melihat banyaknya pejabat lain yang ditangkap karena korupsi. Namun, mereka
sulit keluar dari kubangan yang membuat mereka tetap korupsi.
Pembersihan dibiokrasi, “ presiden tidak tutup kemungkinan
koruptor dihukum mati”.
Pemberantasan korupsi harus dimulai pemerintah dengan pembersihan
biokrasi, caranya menempatkan orang muda yang jujur.
Budayawan, Mudji Sutrisno di jakarta, mengatakan “
pemerintah harus mulai dengan pembersihan di biokrasi”.
Dosen UNAIR, Daniel Sparinga menuturkan maraknya korupsi
yang dilakukan pejabat eksekutif, yudikatif maupun legeslatiftak bisa dilihat
hanya, pertama faktor yang melekat dalam biokrasi kita, seperti tak
berfungsinya pengawasan keuangan maupun tidak optimalnya sistem insentif dan
disinsentif dalam biokrasi. Kedua, pejabat yang dibawa ke pengadilan masih
memiliki persepsi polisi, jaksa, bahkan hakim bisa disuap, ketiga, masyarakat
kita sekarang sangat berubah, jika dulu ada orang yang melakukan korupsi, itu
bisa menjadi gunjingan di masyarakat, sekarang masyarakat permisif dan
kesuksesan diukur dari materi. Serta tidak dipersoalkan dari mana kekayaan itu.
Daniel jga mengatakan tindakan korupsi yang dilakukan
sekarang ini telah ,membawa bangsa indonesia di jalan yang benar, tetapi yang
masih kurang adalah ukuran efek jeranya yang kurang jelas.
Guru besar ilmu sosial UNAIR, soetandyo Wignyosoebroto,
menegaskan korupsi terjadi karena terbukanya kesempatan dan sisitem kontrol
keuangan, berburu koruptor saat ini masih seperti berburu nyamuk, sampai saat
ini masih seperti berburu nnyamuk, belum sampai memberantas demam berdarah atau malaria.
Soetandyo juga mengatakan dalam biokrasi indonesia masih
terdapat nilai lama, seperti orang dipemerintahan boleh memperoleh pendapatan
dari posisisnya, contohnya menerima gaji dari raja, tetapi boleh mendapat lungguhnya,
nilai lama seperti menerima sesuatu dari jabatanya itu oke-oke saja.
Jusuf kalla saat ditanya perlunya hukuman mati terhadap
koruptor untuk menjerakan, seperti china, kalla tak sependapat, menurutnya
koruptor cukup mendapat hukuman seumur hidup, ditambah pengembalian aset dan
harta hasil korupsi ke negara sehingga kerugian negara bisa dikembalikan.
Kalla juga mengatakan bahwasanya korupsi terjadi karena ada
kesempatan, “ siapa yang mengira awalnya para akademisi itu orangnya jujur.
Tetapi karena ada kesempatan, kejujuranya tidak ada lagi.”
Presiden SBY, melalui jubir kepresidenan Andi mallarangeng
mengatakan, “ kita ikuti wacana hukuman matiuntuk koruptor, presiden pada
posisi mengikuti UU yang ada, perbaikinya, memperkuatnya, prinsipnya salah
kecil hukuman kecil, sedang hukuman sedang, berat hukuman berat.jadi, tak
menutup kemungkinan dijatuhkan hukuman maksimal, berupa hukuman mati kepada
koruptor, karena hukum diindonesia masih menganut hukuman mati. Selain itu
menurutnya “ wajar saja ada wacana di masyarakat dan ada legislasi di DPR, UU
masih menganut hukuman mati, jenis kejahatan apa yang patut dikenai hukuman
mati, mari jadikan wacana di antara rakyat”.
Menurut andi, besarnya hukuman akan berpengaruh terhadap
tindakan seseorang, orang akan cenderung tidak melanggar aturan jika ancaman
atau kerugian yang akan ditanggung besar.
Pemberantasan korupsi secara tuntas adalah amanat reformasi
yang digulirkan tahun 1998.
Good governance atau pemerintahan yang bersih, penegakan
hukum, khususnya di bidang korupsi, adalah agenda demokratisasi yang dasar
untuk mencegah terjadinya triple crisis of governance (diamond, 2005). Triple
crisis tersebut adalah kemandekan penegak hukum, ketidakmampuan pemerintah
menjaga perdamaian rakyat, pertumbuhan ekonomi yang stagnan sebagai akiabat
dari kegagalan perekonomian dan rendahnya kapasitas biokrasi pemerintahan.
Sumber dari berbagai krisis adalah perilaku korup dari
aparat pemerintahan yang didukung sebagian pengusaha dan masyarakat, proses
korupsi ini dilakukan bukan hanya saat menjabat, tetapi juga mulai dari
pencalonanya.
TII ( transparency internasional indonesia) menyebutkan
parpol adalah salah satu lembaga terkorup dinegeri ini.
Dalam konteks yang komprehensif, korupsi adalah kejahatan
kerah putih (white collar crime) dengan perbuatan yang selalu berubah modus
operandinya. Acap kali kasus korupsi sulit sekali memperoleh bukti secara
prosedural. Korupsi juga disebut sebagai kejahatan yang sulit tersentuh
(invisible crime) sehingga membutuhkan pendekatan sistem untuk pemberantasanya,
pemberantasan korupsi membutuhkan kebijakan politik yang jelas dan lugas.
Kongres VII PBB tentang prevention of crime and the
treathment of effenders di milan tahun 1985 menyatakan terjadinyan peningkatan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik yang meluas, yang dikenal sebagai
korupsi sistemik.
Sebanyak 73,2 % responden menyatakan tidak ada lembaga
negara yang bebas drai perilaku korupsi aparatnya.
Dimata internasional kedaan korupsi diindonesia masih buruk,
meskipun gencar menegakkan hukum, keadaan korupsi tidak berubah.
Sebanranya pemerintahan SBY, relatif cukup serius mengani
kasus korupsi, selain ditandai dengan gencarnya kerja KPK mengangkap pelaku
yang diduga korupsi, upaya mengurangi tindak korupsi pun dilakukan melalui
reformasi biokrasi.
Apakah akar masalah korupsi di parlemen? Pertama,
akuntabilitas politik DPR amat rendah, kedua, mekanisme perekrutan politik
diinternal partai politik yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang kader
yang bagus, memiliki integritas tinggi, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk
mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, kecil kemungkinan mendapatkan
tempat, ketiga, mahalnya ongkos politik.
Perbaikan yang perlu dilakukan antara lain : pertama, ketua
DPR dan jajaran elite di DPR menciptakan sistem integritas untuk mengurangu
korupsi yang terjadi. Kedua, DPR harus lebih ketat merumuskan kode etik
parlemen dengan sanksi dan mekanisme pemberian sanksi yang lebih efektif gyna
mengurangi perilaku menyimpang anggota DPR, sekaligus memberi efek jera. Ketiga,
partai politik peserta pemilu harus merombak sistem perekrutan calon anggota
legeslatif dengan menempatka integritas, kualitas, dan profesionalitas sebagai
parameter utama.
TII mengatakan bahwa DPR sebagai lembaga terkorup di
indonesia.
Parahnya semua pelaku korupsi merasa tidk bersalah karena
penyogok menganggapnya sebagai ucapan “terima kasih”, sedangkan penerima merasa
sebagai “ jasa karena telah memutuskan dan mengarahkan proyek” kepada penyogok,
kondisi ini kian memperburuk wajah parlemen yang sudah “bopeng”.
Pokoknya bagus untuk terkait keberadaan KPK dan semua hal
terkait KPK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar