Sabtu, 03 Maret 2012

Jangan bunuh KPK


Jangan bunuh KPK, kompas, jakarta 2009
Sebenernya keberadaan pengadilan khusus tipikor dan kpk adalah bukti keseriusan pemerintah, DPR masayrakat untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Buku ini membahas lima bagian antara lain :
1.       Membuktikan bahwa tindak korupsi hingga kini masih ada di hampir semua daerah dan hampir semua institusi.
2.       Adanya perlawanan terhadap KPK berupaya melemahkan KPK  dalam memberantas korupsi
3.       Tulisan-tulisan yang mendorong keberadaan KPK
4.       Kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK
5.       Etika dan wewenang KPK
Guru besar UNS, Adi sulistiyono, Minggu (20,07,2008) menilai korupsi kian merajalela, merambah ke berbagai sektor, dari tingkat pusat hingga daerah, itu terjadi karena selama ini proses hukum pada pelaku korupsi sama sekali tidak menjerahkan, ‘koruptor yang menimbulkan kerugian negara miliaran sampai triliyunan rupiah paling hanya divonis tiga sampai empat tahun, jadi bagaimana ada efek jera.” Ujarnya di jakarta.
Menghadapi korupsi yang kian parah, menurut adi seharusnya pelaku dihukum mati agar ada efek jera, “ jika tidak dihukum mati, terpidana korupsi harus dimasukkan ke penjara khusus terisolasi sehingga tidak bisa melakukan kontak dengan siapapun, mungkin dengan seperti ini mereka bisa jera dan tak berani korupsi lagi”.
Pakar politik  dan pemerintahan UGM, purwo santoso mengakui praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah dan pejabat didaerah disebabkan terbuka lebarnya peluang korupsi, antara lain karena kekacauan keuangan pemerintah.
Selain itu purwo menyatakan tingginya biaya politik yang dikeluarkan kepala daerah selama pencalonan juga memicu tindakan korupsi, jadi, korupsi tidak hanya dipicu oleh kesalahan oknum.
Ketua umum pengurus  besar NU K.H. hasyim muzadi mengakui “banyaknya pejabat publik melakukan korupsi karena besarnya biaya politik dan sosial yang harus mereka keluarkan, dan budaya hedonistik yang mereka anut.”  Selain itu ongkos politik untuk menjadi bupati/ walikota dalam pilkada langsung mencapai puluhan miliar rupiah, sehingga selama menjabat kepala daerah itu bergaya hidup hedonis, glamour, serta memiliki gengsi yang harus lebih tinggi daripada masyarakat, kondisi ini berkebalikan dengan sifat penjabat negara lain yang mampu hidup sederhana.
Menurut hasyim, pejabat publik sebenernya juga merasa ngeri melihat banyaknya pejabat lain yang ditangkap karena korupsi. Namun, mereka sulit keluar dari kubangan yang membuat mereka tetap korupsi.
Pembersihan dibiokrasi, “ presiden tidak tutup kemungkinan koruptor dihukum mati”.
Pemberantasan korupsi harus dimulai pemerintah dengan pembersihan biokrasi, caranya menempatkan orang muda yang jujur.
Budayawan, Mudji Sutrisno di jakarta, mengatakan “ pemerintah harus mulai dengan pembersihan di biokrasi”.
Dosen UNAIR, Daniel Sparinga menuturkan maraknya korupsi yang dilakukan pejabat eksekutif, yudikatif maupun legeslatiftak bisa dilihat hanya, pertama faktor yang melekat dalam biokrasi kita, seperti tak berfungsinya pengawasan keuangan maupun tidak optimalnya sistem insentif dan disinsentif dalam biokrasi. Kedua, pejabat yang dibawa ke pengadilan masih memiliki persepsi polisi, jaksa, bahkan hakim bisa disuap, ketiga, masyarakat kita sekarang sangat berubah, jika dulu ada orang yang melakukan korupsi, itu bisa menjadi gunjingan di masyarakat, sekarang masyarakat permisif dan kesuksesan diukur dari materi. Serta tidak dipersoalkan dari mana kekayaan itu.
Daniel jga mengatakan tindakan korupsi yang dilakukan sekarang ini telah ,membawa bangsa indonesia di jalan yang benar, tetapi yang masih kurang adalah ukuran efek jeranya yang kurang jelas.
Guru besar ilmu sosial UNAIR, soetandyo Wignyosoebroto, menegaskan korupsi terjadi karena terbukanya kesempatan dan sisitem kontrol keuangan, berburu koruptor saat ini masih seperti berburu nyamuk, sampai saat ini masih seperti berburu nnyamuk, belum sampai memberantas demam berdarah  atau malaria.
Soetandyo juga mengatakan dalam biokrasi indonesia masih terdapat nilai lama, seperti orang dipemerintahan boleh memperoleh pendapatan dari posisisnya, contohnya menerima gaji dari raja, tetapi boleh mendapat lungguhnya, nilai lama seperti menerima sesuatu dari jabatanya itu oke-oke saja.
Jusuf kalla saat ditanya perlunya hukuman mati terhadap koruptor untuk menjerakan, seperti china, kalla tak sependapat, menurutnya koruptor cukup mendapat hukuman seumur hidup, ditambah pengembalian aset dan harta hasil korupsi ke negara sehingga kerugian negara bisa dikembalikan.
Kalla juga mengatakan bahwasanya korupsi terjadi karena ada kesempatan, “ siapa yang mengira awalnya para akademisi itu orangnya jujur. Tetapi karena ada kesempatan, kejujuranya tidak ada lagi.”
Presiden SBY, melalui jubir kepresidenan Andi mallarangeng mengatakan, “ kita ikuti wacana hukuman matiuntuk koruptor, presiden pada posisi mengikuti UU yang ada, perbaikinya, memperkuatnya, prinsipnya salah kecil hukuman kecil, sedang hukuman sedang, berat hukuman berat.jadi, tak menutup kemungkinan dijatuhkan hukuman maksimal, berupa hukuman mati kepada koruptor, karena hukum diindonesia masih menganut hukuman mati. Selain itu menurutnya “ wajar saja ada wacana di masyarakat dan ada legislasi di DPR, UU masih menganut hukuman mati, jenis kejahatan apa yang patut dikenai hukuman mati, mari jadikan wacana di antara rakyat”.
Menurut andi, besarnya hukuman akan berpengaruh terhadap tindakan seseorang, orang akan cenderung tidak melanggar aturan jika ancaman atau kerugian yang akan ditanggung besar.
Pemberantasan korupsi secara tuntas adalah amanat reformasi yang digulirkan tahun 1998.
Good governance atau pemerintahan yang bersih, penegakan hukum, khususnya di bidang korupsi, adalah agenda demokratisasi yang dasar untuk mencegah terjadinya triple crisis of governance (diamond, 2005). Triple crisis tersebut adalah kemandekan penegak hukum, ketidakmampuan pemerintah menjaga perdamaian rakyat, pertumbuhan ekonomi yang stagnan sebagai akiabat dari kegagalan perekonomian dan rendahnya kapasitas biokrasi pemerintahan.
Sumber dari berbagai krisis adalah perilaku korup dari aparat pemerintahan yang didukung sebagian pengusaha dan masyarakat, proses korupsi ini dilakukan bukan hanya saat menjabat, tetapi juga mulai dari pencalonanya.
TII ( transparency internasional indonesia) menyebutkan parpol adalah salah satu lembaga terkorup dinegeri ini.
Dalam konteks yang komprehensif, korupsi adalah kejahatan kerah putih (white collar crime) dengan perbuatan yang selalu berubah modus operandinya. Acap kali kasus korupsi sulit sekali memperoleh bukti secara prosedural. Korupsi juga disebut sebagai kejahatan yang sulit tersentuh (invisible crime) sehingga membutuhkan pendekatan sistem untuk pemberantasanya, pemberantasan korupsi membutuhkan kebijakan politik yang jelas dan lugas.
Kongres VII PBB tentang prevention of crime and the treathment of effenders di milan tahun 1985 menyatakan terjadinyan peningkatan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik yang meluas, yang dikenal sebagai korupsi sistemik.
Sebanyak 73,2 % responden menyatakan tidak ada lembaga negara yang bebas drai perilaku korupsi aparatnya.
Dimata internasional kedaan korupsi diindonesia masih buruk, meskipun gencar menegakkan hukum, keadaan korupsi tidak berubah.
Sebanranya pemerintahan SBY, relatif cukup serius mengani kasus korupsi, selain ditandai dengan gencarnya kerja KPK mengangkap pelaku yang diduga korupsi, upaya mengurangi tindak korupsi pun dilakukan melalui reformasi biokrasi.
Apakah akar masalah korupsi di parlemen? Pertama, akuntabilitas politik DPR amat rendah, kedua, mekanisme perekrutan politik diinternal partai politik yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang kader yang bagus, memiliki integritas tinggi, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, kecil kemungkinan mendapatkan tempat, ketiga, mahalnya ongkos politik.
Perbaikan yang perlu dilakukan antara lain : pertama, ketua DPR dan jajaran elite di DPR menciptakan sistem integritas untuk mengurangu korupsi yang terjadi. Kedua, DPR harus lebih ketat merumuskan kode etik parlemen dengan sanksi dan mekanisme pemberian sanksi yang lebih efektif gyna mengurangi perilaku menyimpang anggota DPR, sekaligus memberi efek jera. Ketiga, partai politik peserta pemilu harus merombak sistem perekrutan calon anggota legeslatif dengan menempatka integritas, kualitas, dan profesionalitas sebagai parameter utama.
TII mengatakan bahwa DPR sebagai lembaga terkorup di indonesia.
Parahnya semua pelaku korupsi merasa tidk bersalah karena penyogok menganggapnya sebagai ucapan “terima kasih”, sedangkan penerima merasa sebagai “ jasa karena telah memutuskan dan mengarahkan proyek” kepada penyogok, kondisi ini kian memperburuk wajah parlemen yang sudah “bopeng”.
Pokoknya bagus untuk terkait keberadaan KPK dan semua hal terkait KPK







Tidak ada komentar:

Posting Komentar