Selasa, 10 November 2015

Urgensi Perubahan UU Migas dan Kepastian Hukum

Terdapat 2 (dua) alasan utama perlunya perubahan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Pertama, dalam substansinya UU tersebut kurang memberikan daya dorong bagi perkembangan sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Indonesia. Kedua, UU tersebut kurang menjawab aspek ketahanan energi, hal ini ditandai dengan sejumlah persoalan-persoalan antara lain jumlah produksi yang terus menyusut, krisis energi, tata kelola yang kurang transparan dan akuntabel, serta persoalan hukum kelembagaan pengelola sektor migas.



Dalam perubahan UU Migas tersebut diperlukan kesesuaian dalam 5 (lima) aspek utama. Pertama, perencanaan dan pencadangan migas untuk ketahanan energi. Kedua, sinergi kegiatan migas dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga, prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Keempat, pemanfaatan migas untuk pengembangan energi bersih-terbarukan dan stabilisasi ekonomi. Kelima, pemanfaatan migas untuk kepentingan daerah dan pembangunan yang mensejahterakan masyarakat. Dengan harmonisasai beberapa aspek tersebut, kepastian hukum sektor migas Indonesia akan terpenuhi dan ketahanan energi pun bisa terwujudkan.

Idealnya, UU Migas yang baru adalah UU Migas yang ‘kokoh’ dalam arti minim potensi melanggar konstitusi serta mampu menjadi payung pelindung bagi kepentingan nasional dan sekaligus tetap memberi kenyamanan bagi kalangan investor asing. 

Urgensi Terbitnya Perpres tentang Proyek Strategis Pembangunan Jalan Tol

Pembebasan Lahan
Pembangunan jalan tol erat kaitanya dengan masalah pembebasan lahan, Dibutuhkan efisiensi regulasi terkait masalah pembebasan lahan. Masalah utama yang dihadapi Indonesia terkait hal tersebut adalah tinggi nya  ego sectoral di sektor-sektor yang berkaitan dalam pembebasan lahan, hal ini terlihat pada regulasi di wilayah pertanian, perhutanan, perkebunan, pesisir, pulau-pulau kecil, yang mana dalam beberapa sektor tersebut sangat tegas aturanya untuk perlindungan lahanya, hal itu bukanlah sesuatu yang salah jika tiap sektor memiliki aturan dan visi misi untuk kepentingan sektornya. Tetapi, ketika sudah dihadapkan pada keadaan, kebutuhan dan kepentingan yang lebih besar dalam hal ini pembangunan tol, suatu aturan seharusnya bisa lebih fleksibel untuk alasan kemanfaatan yang lebih besar. Dengan pendekatan “comparative advantage” kepentingan umum diatas segalanya. Selain itu, pada dasarnya ketika infrastruktur bagus, kembalinya juga ekonomi meningkat, dan imbasnya per instansi kemungkinan ada tambahan dana untuk sektornya. Untuk bisa mewujudkan keseragaman di semua lini sectoral untuk pembangunan tol diperlukan pepres yang bisa meengaturnya untuk mewujudkan kesamaan visi demi terwujudnya kemudahan dan peningkatan jalan tol, karena keadaan selama ini PP No 15 tahun 2005 kurang mengakomodir terkait hal tersebut.

Implementasi
Harusnya Indonesia harus tiada henti melakukan harmonisasi peraturan, karena selama ini sering terjadi tumpang tindih dan tidak saling mendukung antar peraturan terkait. Selama ini proses pembebasan lahan memakan waktu yang lama, sehingga investor kesulitan menjalankan proyek yang akan dilakukan. Dimana selama ini pembebasan lahan bagi pembangunan yang sifatnya untuk kepentingan publik, didanai oleh pemerintah. Namun, karena proses pencairan anggaran cukup sulit, pembebasan lahan pun memakan waktu yang cukup lama. Dengan revisi aturan ini, pembiayaan pembebasan lahan dilimpahkan kepada swasta terlebih dahulu, kemudian akan diganti pemerintah. Ini bisa mempercepat proses pembebasan lahan, dan memudahkan bagi swasta.
Selain itu, dalam kaitanya dengan pembebasan lahan di wilayah perhutanan misalnya, seharusnya pembangunan infrastruktur yang melewati kawasan hutan tidak perlu menunggu penggantian lahan. Penggantian lahan hutan dapat dilakukan seiring proyek berjalan. Sehingga proyek dapat langsung dimulai saat itu juga tanpa menunggu pengantian lahan hutan yang sebelumnya disyaratkan. Beberapa hal tersebut harus dilakukan jika ingin benar-benar melakukan tercapainya nawacita Jokowi.

Masalah Pembiayaan
Pemerintah harus terus bekerja keras mencari investor untuk pembangunan tol atau mencari peminjaman modal dari luar, namun juga harus jeli dan saling bersinergi. Harusnya segala investasi memang terfokus pada infrastruktur, dan berbagai bentuk yang lebih pada usaha bersama, tidak lagi yang kita hanya pemanfaatan Sumber daya alam Indonesi. Keadaan saat ini, SDA kita pun semakin memburuk, udah tidak punya apa-apa kita ini.
Selain itu, masalah pembiayaan infrastruktur pembangunan tol dari non perbankan harusnya diperluas, cuman Malaysia yang dana haji menjadi salah satu pemasukan untuk pembangunan infrastruktur, harusnya Indonesia yang penduduknya lebih banyak bisa memanfaatkan ini. Selain itu, Pemerintah harusnya lebih banyak mencari sumber pembiayaan lain, termasuk berutang dari negara lain (bilateral) maupun lembaga pembiayaan internasional (multilateral).
Porsi pembiayaan yang berasal dari badan usaha milik negara (BUMN) lewat penyertaan modal negara (PMN) dan juga skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) dapat mengakali minimnya sumber dana infrastruktur pemerintah. Penerbitan obligasi negara menjadi salah satu alternatif pembiayaan.
Untuk mewujudkan pembangunan jaln tol dibutuhkan dana yang sangat besar, dan salah satu solusi yang mungkin sangat tepat adalah memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk melaksanakan pengusahaan jalan tol, kemampuan pihak swasta dalam pengusahaan jalan tol yang baik dapat tercapai jika ada peranan dari Pemerintah dengan prinsip kemitraan sebagai pemberi izin pengusahaan jalan tol termasuk kontrol dari segi regulasi. Ketika pembiayaan pembebasan lahan dilimpahkan kepada swasta terlebih dahulu, kemudian akan diganti pemerintah. Ini bisa mempercepat proses pembebasan lahan, dan memudahkan bagi swasta. Selama ini swasta lebih memiliki kesiapan dalam hal pembayaran, dibandingkan pemerintah, karena Kalau pemerintah, anggaran yg dibutuhkan akan lama
Pemerintah harus dapat menyeimbangkan kepentingan swasta sebagai mitra Pemerintah dengan masyarakat sebagai pengguna jalan tol. Solusi dari hal tersebut adalah pemberian dukungan Pemerintah kepada swasta untuk mengantisipasi risiko-risiko yang akan timbul dalam pengusahaan jalan tol oleh pihak swasta termasuk risiko kenaikan tarif.
Terakhir, Mentalitas masyarakat juga harus dibangun, seharusnya masyarakat memiliki kepedulian akan kerja keras pemerintah untuk mempercepat pembangunan, tapi mental merusak dan tidak peduli untuk saling menjaga masih banyak dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia. Harusnya tol yang sudah dibangun, para pengendara yang melintasi harus sesuai aturan, agar kondisi tol tetap terawat dan tahan lama, selain itu masyarakat juga harus patuh terhadap lalu lintas dan taat membayar.


Kesiapan Indonesia Bergabung TPP

Inisiatif pemerintah Indonesia untuk bergabung dalam pasar bebas pada hakikatnya bukan sesuatu yang salah. Tidak salah hanya pada hakikatnya, tapi ketika sudah dihadapkan pada konteks hal tersebut akan berbeda. Karena sesuatu yang normative dan empiris pada dasarnya merupakan sesuatu yang berbeda bahkan bertolak belakang, meskipun keduanya saling berhubungan dan memiliki ketergantungan satu dan lainya.
Indonesia yang merupakan negara berkembang dengan penduduk 2,5 juta jiwa harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam setiap kebijakan yang diambilnya, terutama dalam urusan ekonomi, karena hal ini erat kaitanya dengan hak untuk hidup sejahtera. Sebagian besar rakyat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan, dan imbasnya sebagian besar dari mereka hanya merasakan imbas dari setiap kebijakan, dan keikutsertaan untuk mendapat keuntungan dari setiap kebijakan ekonomi terutama perdagangan bebas hampir tidak pernah dirasakan mereka. Tidak layak rasanya untuk menyalahkan pihak rakyat kecil, karena pada dasarnya pilihan hidup yang terbataslah yang membuat sedikitnya kepartisipasian dalam setiap liberalism perdagangan.
Ada unsur politik pastinya ketika Indonesia terus membuka diplomasi dalam berbagai bidang, utamanya dalam lingkup perekonomian, selama ini memang Indonesia lebih banyak melakukan kerjasama dengan Tiongkok, dengan bergabungnya Indonesia dalam TPP menunjukkan bahwa sejauh ini apa yang dilakukan Indonesia dalam segala kebijakanya adalah kebijakan yang netral tanpa keberpihakan terhadap siapapun, inisiatif diplomasi luar negri erat kaitanya dengan politik luar negri, politik Indonesia yang bebas aktif bukan berarti Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk perlindungan terhadap negara bangsa Indonesia sendiri.
Selama ini free trade yang dilakukan Indonesia menunjukkan kesan dominasi sinyal negative, dimana saat ini perekonomian yang bisa terbantu dari free trade masih jauh dari harapan, memang bukan berarti adanya free trade itu salah karena bukti negara yang bisa survive dan merasakan efek positif dari free trade pun ada seperti India dan korea selatan. Asalakan suatu negara memiliki kemampuan, keoptimisan dan regulasi hukum yang bagus, Indonesia akan mampu untuk itu.
Namun, bicara kenyataan yang ada, Indonesia sangat lemah untuk hal tersebut, daya saing produk dalam negri kita masih jauh dari kata cukup. Belum lagi ditambah issue-issue politik yang terus mencuat kepermukaan menjadi salah satu sebab mengapa perekonomian kita terus stagnan. Hal ini menjadi salah satu alasan penting setiap keputusan Indonesia untuk membuka free trade kembali, telah banyak Indonesia telah bergabung tanpa hasil masksimal karena alasan-alasan disebut.

Alasan selanjutnya, dimana pioneer free trade tersebut adalah Amerika Serikat negara adidaya yang berkuasa dalam setiap keputusan harusnya menjadi pertimbangan lebih lanjut bagi Indonesia dalam keinginanya untuk bergabung dalam TPP. Alasan bahwa Indonesia harus optimis dalam setiap liberalism perdagangan bukanlah urusan mudah, karena alasan optimisme bukanlah alasan yang bisa terukur, dan tidak sebanding dengan efek yang akan disebabkan ketika Indonesia membuka free trade kembali dengan bergabung dengen TPP tanpa disertai keadaan kesiapan Indonesia untuk itu. Untuk itu, Pemerintah harus jeli melihat keadaan dan memikir ulang kembali untuk bergabung dengan TPP.